Memaknai Kekayaan

Oleh: Bpk Imam Suprayogo
Rektor UIN Malang

Pada umumnya jika orang ditanya tentang kekayaan yang paling mahal harganya dan yang paling disukai, maka hampir pasti mereka akan menjawab : uang, mobil, rumah, berlian dan seterusnya. Maka, jawaban itu tidak salah. Memang itu semua sudah umum dipandang sebagai kekayaan. Seseorang disebut kaya dan orang lainnya disebut miskin, maka perbedakan itu semata-mata karena kepemilikan harta. Orang disebut kaya jika ia memiliki rumah besar, uang banyak, mobil mewah, tabungan banyak di bank dan seterusnya. Sebaliknya orang disebut miskin jika ia tidak memiliki rumah, tidak punya tabungan, tidak punya mobil dan juga tidak memiliki penghasilan dan tidak memiliki apa-apa. Itulah ciri orang miskin. Sekalipun sebagian banyak orang menganggap bahwa pandangan itu betul, tetapi ternyata ada ukuran selain itu, ialah yang disebut dengan kekayaan jiwa. Kita sering mendengar kalimat yang mengatakan, bahwa biar miskin harta asalkan tidak miskin jiwa. Maka, artinya ada orang yang menganggap bahwa kekayaan itu tidak hanya berupa harta, tetapi bisa berbentuk lain, ialah kekayaan jiwa itu. Selanjutnya, jika harus memilih, memang yang terbaik adalah menjadi kaya harta sekaligus kaya jiwa. Tetapi, jika pilihan itu hanyalah satu di antara dua alternatif tersebut, maka ternyata ada juga orang yang lebih memilih kekayaan jiwa daripada harta. Kemudian, siapa sesungguhnya orang yang layak disebut telah memiliki kekayaan jiwa itu. Sebagai gambaran sederhana, mungkin kisah berikut bisa digunakan sebagai contoh. Saya pernah mendapat cerita dari seorang teman, tentang seorang pegawai departemen agama tatkala ia memasuki masa pensiun. Ketika SK pensiunnya diterima, segera seragam korpri dan baju saparinya dicuci dan diseterika. Ketika pegawai yang tergolong rendah ini,----- hanya menduduki jabatan di tingkat kabupaten, diundang untuk acara pelepasan, maka baju-baju tersebut dengan ikhlas diserahkan kembali ke kantor. Hal itu dimaksudkan agar baju-baju tersebut bisa dipakai oleh pegawai lain yang sekiranya memerlukan. Sebaliknya, terdapat cerita lain yang bertolak belakang. Seorang pejabat selalu memasukkan sekian banyak keluarganya di lembaga yang ia pimpin, sekalipun tidak semua memenuhi syarat. Ia berpikir, daripada diisi orang lain, apa salahnya memasukkan keluarganya sendiri. Bahkan, saudara dekatnya diberi fasilitas untuk pengadaan semua kebutuhan kantor dengan alasan efisiensi, mudah, dan cepat. Kasus seperti ini, sederhana dan aneh, tetapi gampang sekali ditemui di mana- mana. Orang yang kaya jiwa adalah orang yang tidak mementingkan dirinya sendiri, berani menghadapi tantangan hidup, ikhlas, sabar dan mampu membagikan kasih sayangnya kepada semua. Ia tidak takut miskin dan tidak takut pula kehilangan harta maupun jabatannya. Setiap saat yang ditakutkan adalah jika keberadaannya tidak memberi manfaat bagi orang lain. Pensiunan Departemen Agama dalam kisah tersebut di muka, menggambarkan bahwasanya ia sesungguhnya tidak kaya harta, tetapi memiliki kekayaan jiwa. Sedangkan cerita berikutnya adalah sebaliknya. Pejabat tersebut kaya jabatan dan juga mungkin harta tetapi sesungguhnya ia sedang mengalami kemiskinan jiwa yang juga luar biasa. Jika harta itu ternyata juga tidak digunakan dan akhirnya tidak memberi manfaat,------- termasuk kepada dirinya sendiri, maka pada hakekatnya, ia miskin dua-duanya, yaitu miskin jiwa dan harta benda sekaligus. Wallahu a’lam.

2 komentar: